Mt. Argopuro, Desember 2016
"Ky, lo serius mau nanjak berdua doang ke Argopuro? Lo gilak ya," tanya temen gue serius sambil ngunyahin pecel ayam pada malam itu.
"I dunno I just wanna do it. Walopun gue sebenernya nggak yakin sih. But ya.... I just wanna do it once in my life"
Once.. in my life...
Once..
walking 60 km with only a friend.
What a stupid idea?
And I arrived at Ps Senen Station an hour before my train departed. Dapat kabar kalo temen gue ini si Mas Yedi masih nyangkut di dalam Commuter Line menuju St. Jatinegara.
Tiga puluh menit nunggu. Oh my God, I did not feel fine anymore.
Empat puluh menit nunggu. OH WHERE THE HELL ARE YOU??
I called my friend like crazy. Dan nggak diangkat -__- terus gue menggila sendiri.
"Pak, pak, kereta berangkat jam berapa?", colekkin Pak Satpam.
"Kereta 5 menit lagi mau jalan, kamu kok masih disini?"
"Temen saya masih otw, Pak. Keretanya pake on time banget ya?"
"Udah cepet masuk, kereta nya udah mau jalan. BLA BLA BLA BLA"
--------------------------------------gue dimarahin---------------------------------
Tapi Pak.... PAAAAKKK....... Gue lari terbirit-birit sambil bawa tentengan seabrek.
Perfect... Now I'm all alone, sitting in the side of the window and the train moves..
"HUAAAH KERETANYA JALAAAAN..." Gue uring-uringan sambil mukul-mukulin jendela curhat sama cowok entah siapa yang duduk di depan gue yang ternyata suka mendaki juga. Seneng banget nyuruh gue nyebutin nama gunung, dan selalu mengeluarkan pertanyaan "Sampai puncak nggak?" Ah gue gebok juga lu.
Beruntungnya sesampenya gue terdampar sendirian di Surabaya tengah malem bolong, si Tugik Rangga udah booking-in hotel. Maacih looh Langgaaaaa. Terus sore-sorenya dibawa mubeng-mubeng sama si Rudi lewat jembatan Suramadu yang anginnya badai gilaaak. Gue berasa kayak balon diiket benang yang ngambang-ngambang nggak jelas gitu di udara. Abis itu nonton Air Mancur Warna.
Esok harinya, gue ketemuan ama Mas Yedi di Stasiun Surabaya. Lanjut naik travel dan ojek ke Basecamp Baderan dan bertemu sama Mas Sam.
"Mas, hari ini udah ada yang nanjak belum?"
"Nggak ada."
"Kemaren?"
"Nggak ada.
Adanya lusa."
Tiba-tiba ujan.
HAH?? Mateng.....................
Geluduk di hati gue pun menggemuruh.
Treknya sih landai, tapi kurva di hati gue mengalami fluktuasi yang nggak wajar. Jujur akoh takoooet. Karena sebelum jalan ke argopuro udah disuguhin bahan bacaan yang bikin nyali senen kemis. I didn't feel right anymore ketika masuk ke hutan rada kering, rapet, dan hujan angin pun datang secara tidak ramah. Ini sih melebihi scene filem-filem horror Cabin of The Wood dan semacemnya. Gue langsung minta nge-camp pake banget, dan Mas Yedi menuruti.
Besok paginya bangun, curhat-curhat masalah kasih yang tak tersampaikan sambil masak-masak lucuk. Gue si nggak masak, cuma bantu liat dan komen aja kayak komentator bola, nggak penting amet perannya tapi kalo nggak ada mah nggak rame lah. Setelah curhat-curhat masalah jancuk di hati, gue minta Mas Yedi nunggu pendaki yang baru mau mendaki pagi ini. Kita ambil trek duluan dan berenti di tempat camp kemungkinan mereka berenti.
Tiga jam kemudian, datanglah empat pendaki brondong yang masih sekolah. Kemudian dateng lagi anak mapala gitu sekitar 7 orang kalo nggak salah. "Akhirnyaaaa ketemu orang juga...", kata salah satu si rombongan yang baru dateng itu.
------Bertemu orang membuat akoh merasa terlahir kembali. Hahaha------
Seneng kan lu? Seneng kan udah ketemu orang? Gue yakin ini yang jadi pernyataan Mas Yed buat gue. Bagaimana pun akoh kan cuma cewe makhluk sosial yang nggak bisa hidup sendiri. Hahahay
Besoknya bangun dan start trekking paling duluan lagi. Jauh gilak, sepi gilak. Nggak ada orang, lama-lama gue bisa gilaaaak. This was the place where Vincensius Suryadinata got lost. I have no idea kenapa doi dateng ke sini sendirian saat cuaca sedang jelek-jeleknya with the only daypack and the guide from the ancient book of The Hyang Plateau. But I dunno I kinda obsessed about him and wanted to understand him even more. Ladang rumput berselimut kabut, Vincensius Suryadinata, The Hyang Plateau, Dewi Rengganis, serdadu militer, romusa. Oh... This place has the past that lays before me. And I wanted to feel them all in a blink of my eyes.
Sesampainya di Cikasur melewati tanaman kering yang sesuka hati menampar wajah gue seketika gue terabas, hati ini bahagyaaah. I'm at this point. How happy. Gue guling-gulingan males dulu sebelum ngadepin trek langsung ke Danau Hidup. Dan di sini lah persahabatan kami mulai diuji HAHAHAHAHAHA.
Seperti biasa, kita jalan duluan menuju Cisentor. Sepi. Ilalang setinggi dua meter. Karena gue yang jalan di depan, wajah gue yang selalu jadi korban nyisirin jaring laba-laba. Sedih. Gue udah nggak merasa cantik lagi di sini. Sepanjang jalan kita agak berselisih gitu. Sebel harus jalan dengan situasi sesepi ini. Ilalang. Savanah. Ilalang. Savanah. Saking sepinya tempat ini, gue bisa denger jantung gue mau perang.
Setelah dari Cisentor, di sini lah petualang dimulai. Di sini gue merasa bahwa nyawa gue nggak lebih dari selembar tissue. Yang gue temuin cuma pattern ilalang kering yang setinggi dua meter, rapat, dan terdapat jancuk dibaliknya. Setelah itu Savanah lagi. Ilalang lagi. Savanah lagi. Ilalang lagi. Diguyur hujan angin. Basah kejebees. Takut. Jalan sekenceng mungkin dan nabrak taneman jancuk dewasa yang lagi mateng-matengnya. Oh God, I was feeling so dead. Gue cari pojokan dan nangis senangis-nangisnya. Rasanya, kayak tangan ditebas celurit. Sakiiitt bangeeet.
And we finally decided to camp in the middle of nowhere. Ujan angin, gluduk, nggak ada orang. Tenda udah kayak kobangan. Beberapa kali sambaran kilapan petir mampir, memberi bongkahan cahaya menakutkan masuk ke dalam tenda. I pray God, I remembered my parent's face, "If I die now, I die". Mas Yedi pun cuma bisa berselungkup in other space inside the tent. And thanks God I woke up in the next day. Kita balik ke Danau Hidup dan turun ke Basecamp Bremi bertemu dengan Pak Arif.
I called my father. I felt like crying. Ternyata semua orang udah resah di rumah. I'm really sorry Mam and Pap. Love you.