Senin, 25 September 2017

My Nights in Mountain Halimun

Berawal dari kuliah Biologi Dasar oleh Prof Anwar pada semester perdanaku menggali lebih dalam mengenai Biologi (Bioteknologi) di tingkat universitas, beliau mengajak kami ekspedisi ke Gunung Halimun bersama dengan kakak senior UNJ. Aku dan Angelia, heboh bukan main. Kita sepakat ke sana menggunakan koper, karena mengingat aku ingin bawa selimut tebal agar bisa tidur nyenyak. Tapi ternyata aku mengkhianati Angel. Angel jadi satu-satunya korban bahan tertawaan karena harus menggeret-geret koper naik turun truk tronton. Dan lagi, di situ aku merasa berdosa tapi malah diem-diem tanpa Angel tahu, aku ikut tertawa.

Aku dengan wajah berjerawat dan gigi dirante, sedangkan Angel tampil beda dengan topi cantiknya yang kayak ibu gado-gado. Bayangin kita semua sedang di atas truk pengangkut sapi dan Angel nenteng kopernya.
Kami ditugaskan mengobservasi organisme secara berkelompok. Kelompokku ditugaskan mengobservasi kodok. Kami sekelompok bersama kakak-kakak UNJ berniat untuk menangkap kodok pada malam hari. Icha tak hentinya memegangi pinggangku ke mana pun kita pergi sambil merintih terus menerus, "Aku takut Beeb. Aku takut Beb. SUMPAAAH AKU TAKUUT BEEB.." Dan aku hanya dapat berkata, "Cha, lo tutup mata aja kalo takut." Padahal saat itu aku juga takut dan seluruh aliran darah lari ke wajahku ketika aku melihat seonggok pocong berada dengan sekawan pepohonan. Aku hanya bisa diam, terus berjalan, dan melupakan bayang-bayangnya yang selalu menghantuiku.


Kami pergi ke pinggir sungai untuk mencari kodok yang warnanya sangat mengagumkan itu. Aku malah sangat asyik berburu saat itu walau terkadang balutan kain kafan itu terus menghantui pikiranku. Si Icha kini menggenggami pundakku sepanjang menelusuri sungai. Ketika aku menengok ke belakang, tidak ada Icha atau sesosok manusia yang mengintiliku seperti yang kupikir. Justru aku melihat Icha sedang berada di suatu sudut yang berbeda. "Beeb, kamu jangan ke situ-situ Beb. Bahaya, Beb", katanya. What, jadi apa yang .....

Setelah itu kami menelusuri lahan persawahan yang belum ditumbuhi padi. Semangatku tak pernah padam untuk mendapatkan makhluk lucu yang kata orang menggelikan itu. "Ky, Ky, itu kodoknya Ky. Tangkep Ky." Iya entah mengapa aku sangat bersemangat, semua temanku jadi mandor sementara aku jongosnya sendirian. Tapi mendengar pssssst psssst pssssst, aku ketakutan setengah mati. "Kak, ada ular kah di dalam sini?" Bang Eki meyakinkanku tak akan ada ular yang mau berurusan denganku sedangkan menyantap kodok jauh lebih nikmat. Dari kecil aku suka berjelajah, bersepeda atau berlari-larian melewati desa. Dan terkadang aku sering melihat ular sendok muncul di depanku atau ular sawah terinjak oleh roda sepedaku sendiri. Dan yang lebih sering lagi, aku melihat jasad ular yang terlindas di atas aspal, dan tubuhku merinding. Uuuh menggelikan. Aku benci reptil.

Setelah memperoleh beberapa kodok, kami pergi tidur setelah mandi bertiga karena takut mandi sendiri. Hahaha. Tak lama, tiba-tiba rombongan pengobservasi kupu-kupu datang dengan jiwa resah, gelisah, gundah gulana, dan panik setengah edaaaan. Mega meminta untuk dibacakan beberapa surat agar jiwanya lebih tenang. Begini kisahnya, pada malam itu Mega mengambil foto keempat temannya di hutan. Dan sesosok yang tak diinginkan muncul pada salah satu jepretan dan mereka semua panik kembali ke bilik. Saat itu, aku berpikir aku tidak ikut satu malam lagi mencari kodok di malam hari.

"Bang, aku nanti malem izin nggak ikut ambil kodok."

"Kenapa?"

"Ada sesuatu, Bang."

"Kenapa? Putih-putih ya?"

Aku takut si pocong itu mendengar dan tak akan segan mengikutiku lagi malam ini. Aku cuma membalas pertanyaan si Abang UNJ itu dengan kode-kode sandi negara ala ala FBI yang sedang berlagak di film film aksi.

Kami menelusuri hutan siang hari. Walau hari masih siang, tetap terasa gelap karena basah setelah hujan, dan tak banyak sinar matahari yang mampu menembus hutan. Aku dengan percaya diri mendaki batang pohon besar setinggi perut yang terlentang di tengah jalan. Ketika aku berdiri di atasnya, aku jatuh sempurna seperti hantu film the ring yang bunuh diri jatuh ke jurang. Aku jatuh tengkurap dengan sempurna, tidak bisa bernapas maupun bergerak, tubuhku kaku. Tapi Sakinah hanya bertanya sambil tertawa, antara kasihan dan lucu setengah mati. Aku hancur, remuk berhamburan bersama tanah basah.

Pada malam hari, aku melambaikan tangan pada kakak-kakak UNJ yang ingin berburu kodok. Aku merasa lega malam itu. Tapi rasa penasaranku pun semakin memuncak benarkah yang berdiri di balik sekawanan pepohonan itu adalah Om Poci? Aku menyalakan senterku dari bilik, aku soroti sesosok itu. Dan... Sakinah merebut senter dari genggamanku. "Okky, jangan main senter nanti batrenya abis!"

Tiap perwakilan kelompok ditunjuk ke depan berdiri untuk menceritakan pengalaman dan pengetahuan mereka setelah observasi. Aku menjelaskan dengan niat dan tak niat karena sangat mengantuk saat itu dan aku dipilih bukan atas persetujuanku sendiri. Tapi entah mengapa semua temanku sangat menyimak dan terpingkal-pingkal dengan ceritaku. Sedangkan Angel yang menceritakannya dengan begitu kaya akan pengetahuan membuatku terkantuk-kantuk duduk paling belakang dekat pintu dapur. Seekor tikus mengejutkanku dari kantukku dan mencuri seluruh perhatian yang pada saat itu Angel sedang persentasi dengan seriusnya. Sorry banget Njeeell


Atasan almamater bawahnya kolor, kalian bisa simpulkan sendiri.
Keesokan pagi ketika kita mau kembali ke Jakarta, Sakinah mengomeliku, "Okky lo gila yak, pocong malah lo senterin." Hahaha.

THE END

Sesaat kami merumpi menunggu jeda kelas di kampus, Icha bercerita bahwa ia melihat sosok Om Poci berada di belakangku saat kami menelusuri sungai. Oh... My...

Tidak ada komentar: