Kamis, 28 September 2017

Bicara Buku: Anne of Green Gables

Anne of Green Gables, novel klasik yang dikarang oleh Lucy Maud Motgomery dan diterbitkan sekitar 109 tahun yang lalu. Pertama aku lihat sampul bukunya, aku tahu buku ini seharusnya aku telah baca sedari lima belas tahun yang lalu. Mengapa? Karena aku sadar aku bukan gadis yang baiknya dari lahir. Aku sama keras kepalanya seperti Anne, dan kepalaku dipenuhi oleh imajinasi yang selalu membuatku terlihat seperti orang gila yang suka berbicara sendiri dan terlalu banyak mengkhayal. Anne Sherly, gadis yang sangat energis, penuh imajinasi gila, keras kepala, dan tak segan memuntahkan seluruh isi kepalanya tanpa mempedulikan terlebih dahulu apa reaksi lawan yang diajak bicaranya itu.



Berawal dari dua bersaudara, Matthew dan Marilla, yang berniat ingin mengadopsi anak laki-laki yang setidaknya dapat diandalkan untuk membantu mereka mengerjakan pekerjaan ladang. Namun, ketika Matthew berharap menjemput anak laki-laki yang mereka minta dari suatu panti asuhan, Matthew terkejut karena ia hanya dapat menemui gadis berambut merah wortel yang terlihat sangat antusias dan bahagia ingin melihat rumah barunya. Matthew, pria berumur 60 tahun yang pendiam dan berhati selembut awan ini memilih untuk membawa pulang gadis yang tanpa hentinya berbicara sepanjang perjalanan menuju rumah idaman barunya ini. Namun, Marilla menolak perubahan rencana ini, dan berniat untuk mengembalikan Anne kembali ke panti asuhan. Betapa hancurnya perasaan Anne bahwa sampai detik ini Ia merasa masih tidak diinginkan oleh siapapun dan harus kembali ke panti asuhan yang tidak ia sukai itu.




Namun Marilla, wanita yang cukup tegas dan disiplin ini luluh juga hatinya dan berniat untuk merawat Anne. Anne sangat bahagia dapat tinggal di lingkungan yang sangat ia idamkan itu, dan bertemu dengan sahabat yang ia anggap belahan jiwanya. Jangan berharap Anne tumbuh menjadi gadis yang selalu berkelakuan manis, penurut dan patuh akan semua perintah Marilla! Anne tetap mempertahankan sifat keras kepalanya itu, terkadang ia nakal dan suka melawan akan perintah Marilla, dan sering membuat Marilla kesal akan keluhannya yang selalu meragukan penampilannya. Marilla tidak menyukai orang yang selalu memikirkan tentang penampilan, karena penampilan hanya akan membuat seseorang menjadi sombong. Namun Anne sudah mendeklarasikan bahkan ia lebih menginginkan untuk menjadi lebih cantik dibanding pintar. Walau begitu, Anne tetaplah gadis luar biasa yang justru sangat pintar, ambisius dan mampu menunjukkan prestasinya di sekolah walau terkadang ia tak kalah seringya membuat reputasi buruk di kalangan tetangganya akibat perilakunya yang lugu dan suka menantang. Anne memiliki segudang impian yang tak jarang justru ekspektasinya ini sering menyakiti dirinya sendiri, dan ia akan sangat berlebihan mengekspresikannya. “My life is a perfect graveyard of buried hopes”, katanya. Anne membuatku tersenyum, terkadang mengerutkan dahi sambil geleng-geleng, dan geli sendiri akan keluguan dan kebaperannya itu.

Aku sangat menyukai novel ini, Lucy M. Motgomery sangat cerdas memainkan seluruh karakter yang hadir di buku ini, di mana mereka semua mempunyai peran masing-masing yang saling kait-mengait. Aku sangat menyukai bagaimana Lucy menghadirkan setiap karakter yang ada, mereka seperti sangat nyata, beragam, dan hadir dengan apa adanya. Lucy tidak mempertajam suatu karakter dengan satu sifat yang paling menonjol, namun Ia menghadirkan mereka dengan segala sisi sifat yang mereka miliki, tidak selamanya buruk dan tidak selamanya baik, namun sangat manusiawi secara alamiah dimiliki oleh masing-masing orang.

Walau novel ini ditulis dengan tokoh utama gadis kecil berambut wortel dengan segala keluguannya. Tapi menurutku novel ini cocok dibaca untuk segala umur dan tak lekang ditelan oleh zaman. Novel ini akan mengingatkan kita betapa lugunya kita di masa kecil, dan kita akan dibuat geli sendiri karena kita pernah selugu itu. Dulu sewaktu kita masih kecil, kita selalu berpikir bagaimana indahnya menjadi orang dewasa. Namun setelah aku membaca buku ini, aku mengingat betapa indahnya masa kecilku yang tak dapat diulang, di mana aku bisa duduk di batang pohon dan mengkhayal tentang tempat-tempat yang indah. I give 4.5 from 5 stars for this book.

Senin, 25 September 2017

My Nights in Mountain Halimun

Berawal dari kuliah Biologi Dasar oleh Prof Anwar pada semester perdanaku menggali lebih dalam mengenai Biologi (Bioteknologi) di tingkat universitas, beliau mengajak kami ekspedisi ke Gunung Halimun bersama dengan kakak senior UNJ. Aku dan Angelia, heboh bukan main. Kita sepakat ke sana menggunakan koper, karena mengingat aku ingin bawa selimut tebal agar bisa tidur nyenyak. Tapi ternyata aku mengkhianati Angel. Angel jadi satu-satunya korban bahan tertawaan karena harus menggeret-geret koper naik turun truk tronton. Dan lagi, di situ aku merasa berdosa tapi malah diem-diem tanpa Angel tahu, aku ikut tertawa.

Aku dengan wajah berjerawat dan gigi dirante, sedangkan Angel tampil beda dengan topi cantiknya yang kayak ibu gado-gado. Bayangin kita semua sedang di atas truk pengangkut sapi dan Angel nenteng kopernya.
Kami ditugaskan mengobservasi organisme secara berkelompok. Kelompokku ditugaskan mengobservasi kodok. Kami sekelompok bersama kakak-kakak UNJ berniat untuk menangkap kodok pada malam hari. Icha tak hentinya memegangi pinggangku ke mana pun kita pergi sambil merintih terus menerus, "Aku takut Beeb. Aku takut Beb. SUMPAAAH AKU TAKUUT BEEB.." Dan aku hanya dapat berkata, "Cha, lo tutup mata aja kalo takut." Padahal saat itu aku juga takut dan seluruh aliran darah lari ke wajahku ketika aku melihat seonggok pocong berada dengan sekawan pepohonan. Aku hanya bisa diam, terus berjalan, dan melupakan bayang-bayangnya yang selalu menghantuiku.


Kami pergi ke pinggir sungai untuk mencari kodok yang warnanya sangat mengagumkan itu. Aku malah sangat asyik berburu saat itu walau terkadang balutan kain kafan itu terus menghantui pikiranku. Si Icha kini menggenggami pundakku sepanjang menelusuri sungai. Ketika aku menengok ke belakang, tidak ada Icha atau sesosok manusia yang mengintiliku seperti yang kupikir. Justru aku melihat Icha sedang berada di suatu sudut yang berbeda. "Beeb, kamu jangan ke situ-situ Beb. Bahaya, Beb", katanya. What, jadi apa yang .....

Setelah itu kami menelusuri lahan persawahan yang belum ditumbuhi padi. Semangatku tak pernah padam untuk mendapatkan makhluk lucu yang kata orang menggelikan itu. "Ky, Ky, itu kodoknya Ky. Tangkep Ky." Iya entah mengapa aku sangat bersemangat, semua temanku jadi mandor sementara aku jongosnya sendirian. Tapi mendengar pssssst psssst pssssst, aku ketakutan setengah mati. "Kak, ada ular kah di dalam sini?" Bang Eki meyakinkanku tak akan ada ular yang mau berurusan denganku sedangkan menyantap kodok jauh lebih nikmat. Dari kecil aku suka berjelajah, bersepeda atau berlari-larian melewati desa. Dan terkadang aku sering melihat ular sendok muncul di depanku atau ular sawah terinjak oleh roda sepedaku sendiri. Dan yang lebih sering lagi, aku melihat jasad ular yang terlindas di atas aspal, dan tubuhku merinding. Uuuh menggelikan. Aku benci reptil.

Setelah memperoleh beberapa kodok, kami pergi tidur setelah mandi bertiga karena takut mandi sendiri. Hahaha. Tak lama, tiba-tiba rombongan pengobservasi kupu-kupu datang dengan jiwa resah, gelisah, gundah gulana, dan panik setengah edaaaan. Mega meminta untuk dibacakan beberapa surat agar jiwanya lebih tenang. Begini kisahnya, pada malam itu Mega mengambil foto keempat temannya di hutan. Dan sesosok yang tak diinginkan muncul pada salah satu jepretan dan mereka semua panik kembali ke bilik. Saat itu, aku berpikir aku tidak ikut satu malam lagi mencari kodok di malam hari.

"Bang, aku nanti malem izin nggak ikut ambil kodok."

"Kenapa?"

"Ada sesuatu, Bang."

"Kenapa? Putih-putih ya?"

Aku takut si pocong itu mendengar dan tak akan segan mengikutiku lagi malam ini. Aku cuma membalas pertanyaan si Abang UNJ itu dengan kode-kode sandi negara ala ala FBI yang sedang berlagak di film film aksi.

Kami menelusuri hutan siang hari. Walau hari masih siang, tetap terasa gelap karena basah setelah hujan, dan tak banyak sinar matahari yang mampu menembus hutan. Aku dengan percaya diri mendaki batang pohon besar setinggi perut yang terlentang di tengah jalan. Ketika aku berdiri di atasnya, aku jatuh sempurna seperti hantu film the ring yang bunuh diri jatuh ke jurang. Aku jatuh tengkurap dengan sempurna, tidak bisa bernapas maupun bergerak, tubuhku kaku. Tapi Sakinah hanya bertanya sambil tertawa, antara kasihan dan lucu setengah mati. Aku hancur, remuk berhamburan bersama tanah basah.

Pada malam hari, aku melambaikan tangan pada kakak-kakak UNJ yang ingin berburu kodok. Aku merasa lega malam itu. Tapi rasa penasaranku pun semakin memuncak benarkah yang berdiri di balik sekawanan pepohonan itu adalah Om Poci? Aku menyalakan senterku dari bilik, aku soroti sesosok itu. Dan... Sakinah merebut senter dari genggamanku. "Okky, jangan main senter nanti batrenya abis!"

Tiap perwakilan kelompok ditunjuk ke depan berdiri untuk menceritakan pengalaman dan pengetahuan mereka setelah observasi. Aku menjelaskan dengan niat dan tak niat karena sangat mengantuk saat itu dan aku dipilih bukan atas persetujuanku sendiri. Tapi entah mengapa semua temanku sangat menyimak dan terpingkal-pingkal dengan ceritaku. Sedangkan Angel yang menceritakannya dengan begitu kaya akan pengetahuan membuatku terkantuk-kantuk duduk paling belakang dekat pintu dapur. Seekor tikus mengejutkanku dari kantukku dan mencuri seluruh perhatian yang pada saat itu Angel sedang persentasi dengan seriusnya. Sorry banget Njeeell


Atasan almamater bawahnya kolor, kalian bisa simpulkan sendiri.
Keesokan pagi ketika kita mau kembali ke Jakarta, Sakinah mengomeliku, "Okky lo gila yak, pocong malah lo senterin." Hahaha.

THE END

Sesaat kami merumpi menunggu jeda kelas di kampus, Icha bercerita bahwa ia melihat sosok Om Poci berada di belakangku saat kami menelusuri sungai. Oh... My...

Bicara Buku: Nights in Rodanthe

"Bittersweet... romance blooms... You'll cry in spite of yourself." -People

Nicholas Spark, penulis novel romansa yang kisah-kisahnya sering diadaptasi ke layar lebar. Salah satu novel yang diadaptasi ialah Nights in Rodanthe. I don't know. Dari semua film yang diadaptasi dari novel Nicholas Spark yang sudah aku tonton, I don't like them. Tapi, aku suka gaya bahasanya yang renyah di pikiranku. Aku pun setuju ia termasuk ke dalam New York Time Bestselling Author. Menurutku, untuk menjadi penulis yang hebat tidak harus menyuguhkan kisah atau tokoh yang hebat, tapi bagaimana penulis itu mampu merangkai kata untuk menceritakannya lah yang jadi penilaian.

Aku menikmati setiap kalimat di buku ini. Bahkan hatiku remuk, hancur besar-besaran, dan serpihannya berhamburan ketika mengetahui suami Adrianne meninggalkannya begitu saja demi wanita lain. Aku bisa membayangkan bagaimana Adrianne harus berjuang keesokan harinya hidup dengan bayang-bayang pengkhianatan suaminya dan harus membesarkan ketiga anaknya sendiri. Walau aku belum nikah (eyaaa), coba deh bayangin mau obob di tempat tidur terus ngebayangin dulu orang yang sering tidur di sebelah mencintai kita bertahun-tahun tapi sekarang sama wanita lain lagi berbagi cinta. Oh, Demi Dewa, apa salah tapasyaaaahhh????

But then, Adrianne bertemu dengan Paul, dokter bedah yang kini tersangkut masalah akan kematian seorang pasien. Paul menginap di salah satu hotel di Rodanthe, hotel milik kawan dekat Adrianne. Mereka bertemu pada moment yang tepat. Paul telah diceraikan oleh istrinya karena Paul terlihat tidak peduli dengan apapun kecuali karirnya sendiri sebagai dokter bedah. Pertemuan awal-awal Adrianne dan Paul membuatku berjingkrak-jingkrak dan joget-joget lucu di kasur. Tapi setelah kedekatan mereka makin merekat bagaikan lem Fox. Oh man, I've had enough of this.

Aku menghargai Nicholas Spark yang berusaha menyodorkan dan mengenalkan bahwa cinta tak kenal umur atau kata terlambat. Adrianne dan Paul saling jatuh cinta pada umuran setengah abad. Tetapi ada pepatah yang bilang, kalau terlalu manis kita bisa kena diabetes. Dan apapun yang berlebihan, pasti akan kehilangan makan. When they exposed their love, they're just like two juveniles fell in love with each other. Ya mungkin begitulah cinta antara dua insan. Ketika orang ketiga mencoba mengobservasi, kedua insan itu akan terlihat bodoh. Tapi cinta yang seperti ini aku rasa tidak riil terjadi di kehidupan normal pada orang yang dewasa. Ah entahlah, apa aku yang tak pernah merasakan gilanya jatuh cinta atau aku yang terlalu menilai. 

But I thank to Nicholas Spark for gave me a chance to enjoy my five hours by reading this novel. I give it 3 from 5 stars

Bicara Buku: The Book Thief

I was not really into 'read a book' when I first started to love the book. Aku suka bentuknya. Aku suka menggenggamnya dan membawanya bersamaku. Aku suka memeluknya dalam tidurku, memeluk jutaan kata yang tersimpan di dalamnya. Membuka isi buku itu rasanya seperti membuka setiap jendela yang memberikan pemandangan megah dan indah, dan terdapat jutaan kata-kata yang menari-nari di udara dan membawaku terbang ke langit. Oke, udah mulai berlebihan. Back down to the earth, Okky. Hellaaah emangnya eyke ante peri tantiiikk.

Sebelum Liesel menyandang gelar 'The Book Thief' (Pencuri Buku), ia tak terlalu memahami buku itu sendiri. Ia bahkan belum bisa membaca. She just simply love to grab it. Liesel memeluk Gravedigger's Handbook (panduan menggali kubur) di setiap tidurnya yang terus mengingat kenangan pahit akan dinginnya kereta yang menghantarkan maut yang menjemput adiknya. Ibunya yang tak sanggup membesarkannya pun harus merelakan ia tinggal dengan orang tua angkatnya, Hans dan Rose. Hans berusaha membantu Liesel membuka lembaran baru di hidupnya dengan mengajarkannya beberapa kata yang ada pada buku yang digenggamnya itu. Menurut aku pribadi, Liesel merasa memiliki hubungan spesial dengan buku, because it has soul that is connected to her heart. That was how I feel in love with books at first.

Rudi, pemuda kecil berambut lemon yang terobsesi dengan ciuman Liesel yang tak pernah sekalipun dialaminya, ialah sahabat setia Liesel yang sangat menyayanginya walau lontaran kata menyebalkan sering ia layangkan pada Liesel. Mereka selalu bertengkar saat bersama, tapi tak pernah berpikir untuk berpisah karena tanpa Liesel sadari dan akui mereka saling menyayangi satu sama lain. Liesel hanya menyadari bahwa hampir seluruh kepeduliannya terpusat pada Max, lelaki Yahudi yang Hans dan Rose simpan di ruang bawah tanahnya. Hans merasa memiliki hutang nyawa pada ayah Max dan harus menjaga anaknya tetap hidup dan tersembunyi di ruang bawah tanah. Selain membaca buku yang terkadang tak Liesel pahami maknanya (she just love to read the words), ia sangat menyukai menghabiskan waktu dengan Max di ruang bawah tanah dengan sekedar memberi kabar dari koran atau cuaca di luar untuknya.

Kala itu, salju turun dan ruang bawah tanah sangat dingin. Hans dan Liesel membawa berember-ember salju ke bawah tanah untuk Max. Namun salju yang dibiarkan mencair itu hampir membawa ajal untuk Max. Dengan membacakan buku-buku yang Liesel curi dari perpustakaan, ia berharap Max terbangun dari tidur panjang yang menyiksa tubuhnya. Liesel percaya buku dapat mengusir pedih, menyelamatkan nyawa dan setiap harapan manis yang hampir pupus.

Buku ini dituliskan dengan sangat cerdas, dinarasikan oleh kematian, dan diakhiri dengan tragis. I don't want to spoil the end. Tapi buku ini tak akan berkurang nilainya kok untuk dibaca walau kita sudah tahu akhir ceritanya. The Book Thief, buku paling pavorit yang pernah aku baca. Simply, karena aku merasa aku melihat bayangan masa kecilku yang lugu pada sosok Liesel. Liesel yang percaya bahwa menggenggam buku seperti menggenggam dunia di tangannya, membawanya harapan, dan membentuknya menjadi dirinya.

I give 5 from 5 stars for Markus Zusak who created a beauty Liesel.

Bicara Buku: Angela's Ashes (oleh Frank McCourt)

Angela's Ashes, buku yang ditulis oleh Frank McCourt akan kisah masa kecilnya yang tragis. I can't really tell whether I like the book or I really hate it. Kenapa? Karena dari awal aku membaca buku ini, hampir seluruh isi dialognya mengandung kata-kata sarkastik. Sepanjang membaca buku New York Times Bestsellers ini aku pun bertanya-tanya apakah ini benar-benar menggambarkan kehidupan orang-orang Irlandia yang sebenarnya terjadi pada masa itu? Buku ini membuat aku berpendapat setiap anak yang terlahir dari rahim keluarga Angela (ibu dari Frank McCourt) akan dibesarkan oleh penderitaan, perlakuan kasar, dan kebodohan dari setiap kepala keluarga yang tak memiliki rasa bertanggung jawab. Jika banyak pembaca yang berpendapat bahwa Frank menarasikan kisahnya dengan melebih-lebihkannya, aku justru berpikir bahwa Frank menjelaskan dengan sangat lugu dan lucu, and that made me want to kick Frank's father in the head sometimes, bukannya turut menangis dan meratapi pedihnya kehidupan yang Tuhan telah takdirkan.

Ya, mungkin kita bisa memilih pasangan hidup yang seperti apa yang baik untuk kehidupan kita ke depannya. Namun Angela telah terlanjur menaruhkan hatinya dengan pria pecandu alkohol, dan mereka telah tertangkap melakukan hubungan intim di luar pernikahan, dan dari sini lah awal penderitaan Angela dimulai. Frank McCourt dilahirkan setelah empat setengah bulan pernikahan mereka berjalan. Frank percaya bahwa ia ialah bayi ajaib yang dilahirkan lebih cepat dibanding bayi-bayi normal lainnya. Butuh waktu untuk Frank memahami kenyataan yang sebenarnya bahwa ia ternyata tidak menyandang gelar yang sangat istimewa itu.

Frank ialah kakak tertua yang telah kehilangan ketiga adiknya akibat dilahap oleh kejamnya kuman-kuman yang mampu bertahan pada perut-perut kosong adiknya. Tak jarang ia pun terpaksa harus mencuri makanan atau berkerja keras mencari uang agar ibunya tidak mengusap air matanya lagi melainkan mengisi perut seisi keluarga dengan makanan dan tidak mengemis-ngemis lagi ke sana ke mari. Di kala Frank harus menanggung semua derita dan beban itu, sang ayah malah sibuk meminumkan semua penghasilannya ke tempat minum-minuman alkohol. Hanya air gula dan roti manis yang bisa Frank andalkan setiap harinya untuk bertahan hidup dan merasakan lagi hari-hari berikutnya betapa menderitanya kulit yang menempel ke tulang. Apakah hari ini ia masih diberi kesempatan untuk mengunyahkan roti manis dan meneguk air gula ke dalam perutnya? Hanya Tuhan yang tahu.

You can't find any good quote that you want to catch from this book, atau bahkan drama romantis atau akhiran manis dari panjangnya asam pahitnya hidup yang Frank tanggung. Frank membawa pembacanya dengan mudah mengimajinasikan kejadian yang terjadi padanya seakan-akan pembaca adalah teman imajinasinya yang setia selalu berdampingan dengannya. Buku ini mungkin tidak menampilkan kisah atau tokoh yang luar biasa. Tetapi Frank mampu menarasikan dengan sangat baik, tragis, cerdas sekaligus lugu, dan lucu yang tak akan menghentikan kita membaca buku sebelum sampai pada akhir halaman. Dari buku ini, Frank mencoba membagikan kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang mampu ia hadirkan sendiri untuk bertahan hidup di hari berikut-berikutnya. I give this book 4 from 5 stars.

Minggu, 17 September 2017

The Exorcism of Emily Rose, Believe or Not...

When I was a kid, I used to wake up in the middle of night because of several creepy things. I used to get sleep paralysis that led me force my brain to wake my body up. But the other thing I often heard a woman's voice calling my name, she also sometimes laughing or crying. I also usually heard the sound of foots or bouncing basketball that really scared me. I had insomnia when I was a kid. But since I was 12, sleep paralysis routinely haunting me. The creepiest was when I slept in the tend above the cave. I was not alone, there were my friends sleep beside me. I heard a man smoked outside and coughed (I had no idea how I could hear someone smoke), and a woman whisper on me she was gonna possess me and my chest felt hurts so much. I thought they punished me for laughing so hard that night. LOL. But I realized lately that this was just my routine night event. And I just had another one, last night. I hallucinated a man stood above ready to shoot me in the head, I was so sick about this hallucination. 'Brain please wake my body up, please hurry up'. And I screamed to wake my body up. My sister just ran to my room to make sure I was fine. My brother kept asking, but I was so lazy to explain.

When I was four, our family moved from Bintaro to Bekasi because I used to scream in the midnight calling out the ghosts' name. I grew up, I changed my perception about this mystic events, "the universe is built in logic method, math physic molecules and so on. Every events can be explained by science. 'The things' that kept coming to my head were only the things that I inviting them to come. My routine sleep paralysis and hallucination were just other phenomenons of how human body work, and they can be explained in science." But I still experiencing few things other than 'it was just hallucination', sometimes 'it was so real' but my logic brain keep convincing me to stay sane.

The last one was when I was in workplace at 8 p.m with only a friend. I went to toilet. Several rooms got light off. I used the one without any light, then I heard a woman called my name, a voice that used to wake me up in the midnight when I was a kid. I also heard something hit the toilet door again and again. That was scary. I was not sleeping, and it was real. I told this to my friend who came home earlier, she said she was also feeling not right that night. That was why she came home earlier.

The Exorcism of Emily Rose was really a stunning movie. This movie was not just selling a creepy story that scaring the hell out of you. This horror movie was also about 'mind-blowing battle' led by two intelligent counselors in the court. One prosecuted Father Moore for had neglected the condition of Emily Rose who was believed urgently required medical treatment. The other one (Erin) defended Father Moore who is believed had been responsible with all his heart for what Emily Rose had been through, even her death was his burden.

One night in the dorm, Emily Rose experienced an odd night. She was alone and smelled something that led her experienced sleep paralysis. After that, all the days she had been through were nightmares for her. She felt the demons controlled and destroyed her body all the time. But the doctors believed that she had medical problem. The doctors believe epilepsy psychotic disorder simultaneously had led her to rare behaviors like hallucinating and doing things that hurt herself physically. Doctors suggested she required medical treatments, and one of those was consuming Gambutrol. Erin didn't think what doctor said was making sense because epilepsy and psychotic were totally different disorder. Epilepsy psychotic disorder was only the theory this doctor made to throw Father Moore in jail.

Father Moore and Emily's family believed that his method----the exorcism----was the alternative way to heal Emily. He asked her to stop consuming Gambutrol (which was just fictional medicine) that was believed its bioavailability blocking her body to respond on the exorcism. The medical side blamed Father Moore for disallowing her taking Gambutrol, this led her to her death because she became so uncontrollably hurting herself.

Erin was really smart woman, ambitious, determined to win everything she fights for. But she was a kind of woman she was not sure about certain things. "I am a woman with doubts". She might not believed what Father Moore believed, but she did everything to defend Father Moore. Although she was experiencing weird symptoms at 3 am, she tried to reject what Father Moore tried to convince her about what was happening to her. The absence of evidence, or the evidence of absence? She said, there was no fact that she could stand for in this court, there were only possibilities. Emily might get possessed or she might had medical problem. But the only fact that she believed was Father Moore was really care about Emily and never once neglected her.

Believe or not. I'm sure that ones' experiences do not describe the general, and vice versa. Well I believe that people have different way of thinking and experiences that form what they believe. I love movies, sometimes I hate ones that people really like. This was so brainy and creepy simultaneously. I highly recommend this one to watch. But I have no idea why the IMDB give it 6/10. I even take this movie in the same position like Silent of The Lamb or Se7en.

Rabu, 07 Juni 2017

Drama of Ciremai

Tiga tahun yang lalu.

Gue yang belum kelar nyekripsi dan udah diuber uber dosen sama emak gue, gue galauer kronis sejati yang selalu dibanjirin oleh pertanyaan "kapan, kapan, kapan sidang?" sama emak gue, dan gue yang nggak pernah inget berat badan gue yang super ekstra ini, memilih untuk nekat nanjak gunung ciremai yang katanya ketjee badai gituh.

Dan gue pun siap siap dilempar penggorengan sama emak gue.

Dan diancem sama temen temen gue dengan berbagai pertanyaan dan pernyataan.

"Lo mau berguru sama dukun mana lagi sih supaya skripsi lo selesei?"

"Lo mau naik gunung lagi ya? Gue laporin pak t****** (pembimbing gue)."

Dan yang nyebelinnya banyak temen gue yang bilang,

"Lo naik gunung terus tapi kok nggak kurus kurus."

Sakiiiiiiiiiiiiiittttttt.........

Tapi nggak sesakit penyesalan gue naik gunung ciremai. Ciremai itu gilak, ini gunung penuh drama banget. Bukan. Bukan masalah drama percintaan temen gue yang bikin gue jadi serba salah seakan akan gue tersangkanya. Tapi... Tapi... Ini drama antara aku dan si Linggarjati. Aku muak dengannya, endless track, sadis, kejam, kau buat aku kapok naik gunung (ini si eluhan gue tiap naik gunung). Ini semua gara2 Bang Pebe. Selalu excited (maksa si tepatnya) nenteng gue ke gunung yg katanya keren bangetzz, kau tipu tipu gue Bang.

Kiri ke kanan: Habib - Ono - Kak Nita - Raysa - Rio - Ocha - Okky (gue) - Bang Pebe (Eka)

"Bib, gue bisa jalan sendiri.. Nggak usah dipegangin.. Lo nyiksa gue."

Si Bohay Habib gandeng gue terus sepanjang jalan dengan kecepatan super kilat. Dengan semangatnya dia gandeng gue lewatin beberapa rombongan pendaki di depan.

"Ayo Ndut semangat Ndut, jangan lemes. Kayak gitu aja masa lo nggak kuat."

Aduuh gue mau mati dibuat Habib.

"Bib, lo kan atlet, nggak bisa disamain lah sama gue. Gue kan ada extra lemak, beraaaat.. Gue pelan pelan aja deh bareng Bang Pebe di belakang."

"Udah lo jangan byk alesan. Lo jalan bareng gue."

Sumpah maksa amet nih si Habib. Resek. Eh sepatu nya Habib jebol. Wakakakakakak.. Padahal dia banggain banget tuh sepatu baru sampe kebon aja udah jebol. Akhirnya si Habib mau slow down juga, ritme jalannya bikin jantung gue mau loncat keluar. Tegaaak lo Biib. Habib nih brooo gue banget lah, saking setia kawannya lima taun kita senasib jadi mahasiswa bangkotan yang diuber uber dosen buat lulus. Ono juga bro gue bangeets. Temen seperjuangan gila gilaan bareng. Sepanjang jalan mukanya pucet nahan poop. Kasian amet udah dia tongkrongin dipinggiran track poop nya ngga keluar keluar, poop batu kayaknya sih. Puk puk Ono.


Why in the world the rain is coming, gerutu gue saat itu. Mana treknya nggak abis abis. Begini amet nasibku yaolloh... Akhirnya ketemu gelap di tanjakan seruni. Tanahnya basah. Naik dikit merosot banyak. Ampuun tegak amat nih jalur. Nangis bombay di tengah trek. Yaoloh begini amet nasib gue. Mana diguyur ujan terus.

Akhirnya kita pun menyerah, jam 12 malem nenda di camp berjarak satu jam sebelum pos bapa tere. Besok siangnya kita mau nyummit, ide gilaaak macam mana lah ini. Kita diguyur ujan udah jam 2 siang masih pada ketinggian 2500 mdpl.

"Gue nggak mau lanjut, gue mau turun aja sendiri."

Gue malah diomel2in Bang Pebe karena mau nekat turun sendiri ke tempat camp. Ono dan Habib juga masih nunggu kepastian gue untuk lanjut nanjak apa nggak. Dan masih ngebujuk bujuk gue buat nyummit brg.

"Gue gag mau."

Mewek sambil meperin ingus ke bahu Bang Pebe. Wkwkwkwk.

Si cowok cowok tetep pengen kita summit bareng2. Gue paksain tp kaki udah gag stabil. Akhirnya kita turun juga. Ngebuut. Terus jatuh mendarat dengan tidak pas. I got freezed. It hurted. Really.

Akhirnya kita turun ketemu tengah malem di seruni lagi. Hah you again. Sedih. Gue sama Rio jalan paling depan. Gue speechless liat trek di depan mata. Gilaaak. Gue cuma terdiam pucat. Si Rio nggak kalah pucetnya, tetiba mengisyaratkan sesuatu sambil pegang tangan gue.

I thought I knew something, tp nggak mau sok tau.

"Lo napa megang megang deh."

Rio liat tuyul yang merangkak nyamperin dia, dan gue ditinggal mundur gitu aja. Riooooooo tegaaaaakkk..

Seriously ini trip naik gunung failed dan nyiksa banget. Setelah itu gue pun cuti dari dunia pergunungan for a long long long time.. Haha kapooook ciiin

Kamis, 18 Mei 2017

Temen Ghaib

Sebut aja dia Bunga. Padahal lakik, tapi nggak papah lah kan kadang dia suka agak mentel gayaknya.

Paling males punya temen kayak gini, diajak jalan rame-rame langsung iyak aja tapi selalu sendiri ke tempat meeting point dan selalu nggak bisa dihubungin kalo ada perubahan rencana. Tapi nanti tiba-tiba orangnya muncul.

Sending sms
Bro, kita jalan jam 11 aja lah, jangan jam 10

Bunga nggak bales, gue telponin nggak diangkat. MALES. Otak udah babak belur dan jam 9 mlm di malem minggu ini gue mau bobo sejaaam ajaaa. Ah bodo gue tinggal tidur aja.

Nggak tenang, dan gue pun kebangun.

"Lo dimana? Gue udah nyampe nih," sms dari Bunga.

Gue melongok ke luar jendela dari lantai 3.

"Oiii tunggu gue lah lima menit"

Great. Gue belom mandi dan packing apa apa buat 2 hari di P. Seribu. Gue cekikikan inget kata-kata lima menit. Hellooooww, friend, you have to know the art of to wait. Sapa suruh nggak bisa dihubungin.

"Lo gilak yak, gue nunggu lo setengah jam."

"Heh, cuma 20 menit ya."

"Gue digigitin nyamuk gara-gara nunggu lo."

"Sapa suruh lo nggak bisa dihubungin"

"Gue tuh menghargai waktu, gue tepat waktu," katanya sebelum gue muntahin.

"Bodo. Makanya handphone pantengin dong."

"Lo ada antimo nggak, gue digigitin nyamuk nih gatel bgt," sambil garuk-garuk.

"Nggak ada. Adanya fresh care nih."

"Lo gilak ya orang digigit nyamuk malah dikasih fresh care."

"Lo lebih gila, apa hubungannya antimo ama digigit nyamuk."

Karena gue ini sangat menghargai artinya kesehatan, sehat itu MAHAAALL. Demi menghindari penyakit darah tinggi, si Bunga gue pecat dari data pertemanan untuk selama-lamanya.

*END*

Kenyang Pencitraan

Abis makan soto campur.

"Ver, perut gue sakit banget. Perut lo sakit nggak?," ini bukan acting.

"Nggak. Kenapa MisOk, kok bisa sakit perut?," ini si kayaknya acting pura pura care atau sekedar basa basi respon aja.

"Lo bener nggak sakit perut Ver? Tapi abis soto campurnya?"

"Abis," dengan bangga dan gembiranya seakan akan gue nggak tau kalo makannya emang banyak dan selalu abis.

"Duh, gue kekenyangan dan sakit perut," ngelus ngelus perut sambil pasang muka lebay.

Dia pasang muka nggak percaya, seakan-akan kalimat ini kayak hembusan tornado yang bisa mencabik-cabik akal sehatnya.

"Gue tau ini. Gue tau ini. Lo nggak usah PEN-CI-TRA-AN ya! Nggak usah pura-pura deh. Biar dikira makannya dikit kan. NGGAK U-SAH PEN-CI-TRA-AN. MA-LES..."

Tapi Veeerr... Veeerrr.... ini beneran... dengerin dulu penjelasan gueehh. VEEERRR.....

*dan sinetron nggak jelas ini pun end*

Sedikit penampakan gue dan Vera. Kita muat satu frame ya Ver #ups

Sabtu, 22 April 2017

The Hyang Plateau, Mt Argopuro before Me

Mt. Argopuro, Desember 2016

"Ky, lo serius mau nanjak berdua doang ke Argopuro? Lo gilak ya," tanya temen gue serius sambil ngunyahin pecel ayam pada malam itu.

"I dunno I just wanna do it. Walopun gue sebenernya nggak yakin sih. But ya.... I just wanna do it once in my life"

Once.. in my life...
Once..
walking 60 km with only a friend.
What a stupid idea?

And I arrived at Ps Senen Station an hour before my train departed. Dapat kabar kalo temen gue ini si Mas Yedi masih nyangkut di dalam Commuter Line menuju St. Jatinegara.

Lima belas menit nunggu. I just take a fine selfie.

Tiga puluh menit nunggu. Oh my God, I did not feel fine anymore.

Empat puluh menit nunggu. OH WHERE THE HELL ARE YOU??

I called my friend like crazy. Dan nggak diangkat -__- terus gue menggila sendiri.

"Pak, pak, kereta berangkat jam berapa?", colekkin Pak Satpam.

"Kereta 5 menit lagi mau jalan, kamu kok masih disini?"

"Temen saya masih otw, Pak. Keretanya pake on time banget ya?"

"Udah cepet masuk, kereta nya udah mau jalan. BLA BLA BLA BLA"
--------------------------------------gue dimarahin---------------------------------

Tapi Pak.... PAAAAKKK....... Gue lari terbirit-birit sambil bawa tentengan seabrek.

Perfect... Now I'm all alone, sitting in the side of the window and the train moves..

"HUAAAH KERETANYA JALAAAAN..." Gue uring-uringan sambil mukul-mukulin jendela curhat sama cowok entah siapa yang duduk di depan gue yang ternyata suka mendaki juga. Seneng banget nyuruh gue nyebutin nama gunung, dan selalu mengeluarkan pertanyaan "Sampai puncak nggak?" Ah gue gebok juga lu.

Beruntungnya sesampenya gue terdampar sendirian di Surabaya tengah malem bolong, si Tugik Rangga udah booking-in hotel. Maacih looh Langgaaaaa. Terus sore-sorenya dibawa mubeng-mubeng sama si Rudi lewat jembatan Suramadu yang anginnya badai gilaaak. Gue berasa kayak balon diiket benang yang ngambang-ngambang nggak jelas gitu di udara. Abis itu nonton Air Mancur Warna.

Esok harinya, gue ketemuan ama Mas Yedi di Stasiun Surabaya. Lanjut naik travel dan ojek ke Basecamp Baderan dan bertemu sama Mas Sam.

"Mas, hari ini udah ada yang nanjak belum?"

"Nggak ada."

"Kemaren?"

"Nggak ada.
Adanya lusa."

Tiba-tiba ujan.

HAH?? Mateng.....................
Geluduk di hati gue pun menggemuruh.


Treknya sih landai, tapi kurva di hati gue mengalami fluktuasi yang nggak wajar. Jujur akoh takoooet. Karena sebelum jalan ke argopuro udah disuguhin bahan bacaan yang bikin nyali senen kemis. I didn't feel right anymore ketika masuk ke hutan rada kering, rapet, dan hujan angin pun datang secara tidak ramah. Ini sih melebihi scene filem-filem horror Cabin of The Wood dan semacemnya. Gue langsung minta nge-camp pake banget, dan Mas Yedi menuruti.


Besok paginya bangun, curhat-curhat masalah kasih yang tak tersampaikan sambil masak-masak lucuk. Gue si nggak masak, cuma bantu liat dan komen aja kayak komentator bola, nggak penting amet perannya tapi kalo nggak ada mah nggak rame lah. Setelah curhat-curhat masalah jancuk di hati, gue minta Mas Yedi nunggu pendaki yang baru mau mendaki pagi ini. Kita ambil trek duluan dan berenti di tempat camp kemungkinan mereka berenti.

Tiga jam kemudian, datanglah empat pendaki brondong yang masih sekolah. Kemudian dateng lagi anak mapala gitu sekitar 7 orang kalo nggak salah. "Akhirnyaaaa ketemu orang juga...", kata salah satu si rombongan yang baru dateng itu.

------Bertemu orang membuat akoh merasa terlahir kembali. Hahaha------

Seneng kan lu? Seneng kan udah ketemu orang? Gue yakin ini yang jadi pernyataan Mas Yed buat gue. Bagaimana pun akoh kan cuma cewe makhluk sosial yang nggak bisa hidup sendiri. Hahahay


Besoknya bangun dan start trekking paling duluan lagi. Jauh gilak, sepi gilak. Nggak ada orang, lama-lama gue bisa gilaaaak. This was the place where Vincensius Suryadinata got lost. I have no idea kenapa doi dateng ke sini sendirian saat cuaca sedang jelek-jeleknya with the only daypack and the guide from the ancient book of The Hyang Plateau. But I dunno I kinda obsessed about him and wanted to understand him even more. Ladang rumput berselimut kabut, Vincensius Suryadinata, The Hyang Plateau, Dewi Rengganis, serdadu militer, romusa. Oh... This place has the past that lays before me. And I wanted to feel them all in a blink of my eyes.




Sesampainya di Cikasur melewati tanaman kering yang sesuka hati menampar wajah gue seketika gue terabas, hati ini bahagyaaah. I'm at this point. How happy. Gue guling-gulingan males dulu sebelum ngadepin trek langsung ke Danau Hidup. Dan di sini lah persahabatan kami mulai diuji HAHAHAHAHAHA.




Seperti biasa, kita jalan duluan menuju Cisentor. Sepi. Ilalang setinggi dua meter. Karena gue yang jalan di depan, wajah gue yang selalu jadi korban nyisirin jaring laba-laba. Sedih. Gue udah nggak merasa cantik lagi di sini. Sepanjang jalan kita agak berselisih gitu. Sebel harus jalan dengan situasi sesepi ini. Ilalang. Savanah. Ilalang. Savanah. Saking sepinya tempat ini, gue bisa denger jantung gue mau perang. 



Setelah dari Cisentor, di sini lah petualang dimulai. Di sini gue merasa bahwa nyawa gue nggak lebih dari selembar tissue. Yang gue temuin cuma pattern ilalang kering yang setinggi dua meter, rapat, dan terdapat jancuk dibaliknya. Setelah itu Savanah lagi. Ilalang lagi. Savanah lagi. Ilalang lagi. Diguyur hujan angin. Basah kejebees. Takut. Jalan sekenceng mungkin dan nabrak taneman jancuk dewasa yang lagi mateng-matengnya. Oh God, I was feeling so dead. Gue cari pojokan dan nangis senangis-nangisnya. Rasanya, kayak tangan ditebas celurit. Sakiiitt bangeeet.



And we finally decided to camp in the middle of nowhere. Ujan angin, gluduk, nggak ada orang. Tenda udah kayak kobangan. Beberapa kali sambaran kilapan petir mampir, memberi bongkahan cahaya menakutkan masuk ke dalam tenda. I pray God, I remembered my parent's face, "If I die now, I die". Mas Yedi pun cuma bisa berselungkup in other space inside the tent. And thanks God I woke up in the next day. Kita balik ke Danau Hidup dan turun ke Basecamp Bremi bertemu dengan Pak Arif.


I called my father. I felt like crying. Ternyata semua orang udah resah di rumah. I'm really sorry Mam and Pap. Love you.